Tanaman transgenik, solusi atau ancaman?
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan akan terjadi ledakan jumlah penduduk dunia hingga mencapai lebih dari 9 miliar jiwa pada 2050.
Angka proyeksi ini meningkat dibandingkan dengan perkiraan jumlah penduduk dunia saat ini sebanyak 6,8 miliar jiwa.Peningkatan populasi penduduk ini tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan pangan. Pada sisi lain pendekatan produksi pangan dengan cara konvensional dipastikan tidak akan mampu mengejar angka kebutuhan pangan ini, tanpa cara baru maka akan berdampak pada tingginya angka kelaparan di berbagai belahan bumi ini.
Saat ini, bioteknologi atau teknologi rekayasa genetika bukanlah satusatunya solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan, melainkan hanyalah salah satu pilihan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang kian meningkat.Bioteknologi baru dikenal di Tanah Air pada saat mulai dikenalkan produk kapas tahan serangga dan padi emas. Keberadaan bioteknologi ini tidak lepas dari pro-kontra di kalangan masyarakat dan para peneliti.
Pada dasarnya bioteknologi adalah satu jenis teknologi modem yang menggunakan biokimia, mikrobiologi, dan rekayasa genetika secara padu untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan manusia.Meskipun bioteknologi di lndo-nesia masih pro-kontra, ahli pangan F.G. Winarno menyatakan pada dasarnya para breeder tradisional dengan atau tanpa sengaja telah mentrasfer gen.Dengan demikian, maka bioteknologi pada dasarnya sudah ada di Indonesia sejak lama. Hasil organisme yang mengalami proses rekayasa melalui teknologi pemindahan sebuah atau lebih gen antarspesies yang sama atau berbeda itu, disebut transgenik.
Umumnya tanaman transgenik dibuat di laboratorium dengan teknik DNA rekombinan yangmerupakan teknik kloning dengan beberapa tahapan dimulai kloning gen yang diinginkan hingga uji ekspresi gen, transformasi ke tanaman yang dituju hingga proses uji lapangan.Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi menilai masyarakat terlalu apriori terhadap bioteknologi. Padahal, sikap ini sangat kontradiktif mengingat saat ini beberapa komoditas impor seperti kedelai dan jagung pada dasarnya diproduksikan melalui proses transgenik.
Sikap apriori yang berlebihan terhadap pembibitan dengan bioteknologi ini dikhawatirkan justru berpotensi membuat Indonesia kehilangan kesempatan menyerap teknologi untuk memenuhi kebutuhan pangan di dajam negeri.Bayu menjelaskan dampak negatif dari transgenik ini dapal diantisipasi dengan peraturan yang tepat. Termasuk juga, katanya, jika ada praktik dagang di mana para petani mau ndak mau harus terus menggunakan produk seperti pupuk dengan jenis tertentu yang dikuasai oleh sedikit produsen.
Pemerintah, ujar dia, berupaya untuk terus mencari opsi baru untuk memenuhi kebutuhan pangan, termasuk di dalamnya mengurangi impor komoditas. Bayu menyatakan teknologi transgenik ini perlu dikuasai oleh para ahlinasional.
Sudah terkonsumsi
Penggunaan produk pangan transgenik ini telah dilakukan sejak 1990-an. Lebih dari 60% pangan yang dipasarkan di Amerika Serikat seperti pizza, keripik kentang, kue kering, es krim, salad dressing, sirup jagung, dan tofu, memiliki kandungan yang masuk dalam kategori genetically modified food (GMF) atau genetically modified organism (GMO).Ini karena produk tersebut menggunakan bahan mentah GMO dalam bentuk kedelai, jagung, canola, labu dan produk transgenik lainnya.
Saat ini banyak negara seperti Jerman, Amerika Serikat, Australia, Spanyol, China, dan Argentina telah menerapkan tanaman bioteknologi di lahannya. Tanaman bioteknologi sudah tidak lagi terkurung di rumah kaca, ladang percontohan, tetapi sudah menyebar menjadi komoditas tanaman yang berskala luas.Dengan kecenderungan laju penanaman tanaman asal transgenik yang makin cepat maka negara pengimpor pangan-termasuk Indonesia-dari sejumlah negara produsen pangan GMO. baik dalam bentuk mentah maupun olahan, dipastikan telah mengonsumsi pangan transgenik.
Saat ini yang menjadi bahanpertanyaan adalah seberapa besar pangan hasil bioteknologi modem dapat membantu memenuhi kebutuhan pangan dunia?F.G. Winarno menyatakan bioteknologi mampu meningkatkan produktivitas tanaman, menghasilkan varietas tanaman baru yang tahan hama dan penyakit, dan bahkan dapat menumbuhkan tanaman pangan pada lahan kritis.Meskipun ada hal positif dari bioteknologi ini, banyak kalangan menilai bioteknologi yang dikuasai oleh industri bermodal besar akan membuat petani pangan skala menengah ke bawah (gurem) semakin terpinggirkan.
0 komentar:
Posting Komentar