Revolusi Hijau, Menjerat Petani dengan Racun
Upaya mengusir hama wereng di sawahnya justru mendatangkan kematian bagi Wayan Jojol, petani di Banjar Wang Bung, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Petani palawija dan padi ini jatuh pingsan setelah menyemprot hama wereng di lahannya dengan pestisida. Ketika petani lain hendak menolongnya, Jojol sudah meninggal.
“Kami menggotongnya dari sawah sudah dalam kondisi meninggal. Tidak jelas penyebabnya. Tapi kemungkinan besar dia keracunan karena pestisida,” Ketut Rena, petani di banjar yang sama, mengenang kematian Jojol yang terjadi pada pertengahan 1985 tersebut.
Menurut Rena, ketika menyemprot hama tersebut Jojol tidak menggunakan masker. Untuk mengaduk obat tersebut, Jojol juga tidak menggunakan sarung tangan. Angin di sawah pun kencang sehingga obatnya bisa terhirup nafas penyemprot. “Kata dokter yang memeriksa, dia memang keracunan,” tambah Rena.
Jojol tak sendiri. Petani lain di tetangga desa pun mengalami hal yang sama, keracunan ketika menyemprot pestisida hingga meninggal.
Rena tidak ingat nama pestisida yang mereka pakai untuk membunuh hama wereng. Yang dia ingat pestisida itu beracun karena petugas penyuluh lapangan (PPL) mengatakan itu padanya. Dia harus pakai masker agar tidak keracunan ketika menggunakan obat itu untuk mengusir hama.
“Tapi kami biasa saja mengaduk obat itu tanpa sarung tangan dan menyemprotkannya tanpa masker,” katanya.
Rena dan petani lain di desa tersebut mulai menggunakan pupuk dan pestisida sejak 1970an. Dia tidak ingat pasti kapan. “Saya ingatnya waktu itu ada petugas pemerintah menyuruh kami untuk menggunakan bibit, pupuk, dan pestisida yang diberikan pemerintah,” tambahnya.
“Pada zaman Orde Baru siapa sih yang berani melawan pemerintah,” kata Made Muliarta, petani lain.
Bagi petani kecil seperti Rena dan Muliarta, tunduk pada pemerintah jadi satu-satunya jalan. Mereka tidak cukup berani melawan pemerintah. Maka dari yang sebelumnya mengandalkan semua asupan pada alam, kini mereka bergantung pada pemerintah. Apalagi semua asupan seperti bibit, pupuk, dan pestisida kimia itu diberikan secara cuma-cuma pada awalnya.
Mereka tak pernah sadar bahwa skenario besar bernama Revolusi Hijau tengah menjeratnya.
Sejarah Revolusi Hijau diperkenalkan pertama kali oleh William Gaud pada 1968. Mantan Direktur USAID, lembaga donor milik pemerintah Amerika Serikat, ini membandingkan masifnya perubahan di bidang pertanian itu dengan Revolusi Merah di Soviet dan Revolusi Putih di Iran, dua perubahan besar secara politik di dua negara musuh bebuyutan Amerika Serikat itu.
Perubahan yang oleh Gaud disebut revolusi itu dimulai dari Meksiko. Negara di Amerika Latin ini mengubah sistem pertaniannya secara radikal pada 1945. Salah satu alasannya adalah karena berbanding terbaliknya pertambahan jumlah penduduk dengan kapasitas produksi gandum. Penduduk terus bertambah sementara produksi gandum terus berkurang. Mereka pun menggenjot pertaniannya melalui riset, penyuluhan, dan pembangunan infrastruktur yang didanai Ford Foundation, Rockefeller Foundation, dan beberapa lembaga besar lainnya.
Hasilnya, dari semula mengimpor gandum pada 1943, negara ini bisa memenuhi kebutuhan gandumnya pada 1956. Delapan tahun kemudian, Meksiko bahkan sudah mengekspor gandum ke negara lain.
Karena perubahan itu dianggap berhasil maka Ford Foundation dan Rockefeller Foundation kemudian membawa teknologi yang sama ke berbagai dunia. Kalau di Meksiko mereka fokus pada gandum, maka di belahan dunia lain mereka fokus pada padi.
Salah satunya dengan mendirikan International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos, Filipina. Dari pusat riset padi ini lahir padi varietas baru bernama International Rice (IR) seperti IR 64 dan IR 36 yang disebar ke dunia, termasuk Indonesia. Produk mereka inilah yang menjangkau hampir separuh penduduk dunia dan kemudian menggantikan padi lokal, termasuk di Indonesia.
IRRI yang punya kantor perwakilan di 14 negara mulai bekerjasama dengan Indonesia pada tahun 1972, melalui Balai Litbang Pertanian Departemen Pertanian (Deptan). Deptan yang seharusnya jadi kepanjangan tangan pemerintah ternyata kemudian hanya jadi kepanjangan tangan korporasi dan lembaga internasional.
Kredit untuk Petani
Indonesia mulai menerapkan Revolusi Hijau itu melalui program Panca Usaha Pertanian (PUP). Pemerintah melaksanakannya melalui pendirian beberapa pabrik pupuk kimia, memproduksi alat pengolah pertanian, serta pendirian industri pestisida. PUP yang memiliki kegiatan Demo Massal kemudian berubah jadi Bimbingan Massal (Bimas) pada 1964. Bimas dimulai setelah pemerintah mengadakan pilot project pada lahan 100 hektar di Karawang setahun sebelumnya.
Karena Bimas dianggap kurang berhasil, pemerintah membuat Bimas Gotong Royong yang disponsori dua perusahaan asing seperti Mitsubishi dan CIBA, anak perusahaan produsen obat-obatan kimia BASF di bidang pertanian.
Dua perusahaan tersebut sebenarnya hanya memanfaatkan pemerintah Indonesia untuk memasarkan produknya seperti benih, pupuk, dan pestisida. Revolusi Hijau hanyalah kedok agar produk-produk kimia perusahaan tersebut, terutama CIBA, bisa dijual pada petani.
Agar petani mau menerima program ini, pemerintah memberikan bantuan kredit pada petani. Salah satu contoh bentuk kredit Bimas pada tahun 1981 adalah dengan memberikan kredit 250 kilogram pupuk kimia, 2 liter insektisida, dan uang kontan Rp 10.000 dengan buka 1,5 persen sebulan. Pinjaman ini diberikan dalam satu masa tanam selama sekitar tujuh bulan. Tapi kredit ini pun dilakukan dengan paksaan. Petani berhadapan dengan tentara jika mereka menolaknya.
Kredit yang diberikan pemerintah memang kemudian jadi alat penting untuk memasukkan program pembangunan pertanian yang disebut juga dengan nama Intensifikasi Pertanian. Selain melaksanakan Bimas yang berganti-ganti nama sejak 1966 hingga 1985, pemerintah juga memberikan Kredit Usaha Tani (KUT).
KUT ini sendiri jadi catatan bahwa kredit untuk petani sudah terbukti gagal. Salah satu riset M Syukur dan teman-temannya pada tahun 1999 menunjukkan bahwa penyaluran KUT selama 1990 hingga 1996 mengalami penurunan dari Rp 108 milyar jadi Rp 34 milyar. Ketika uang yang disalurkan mengalami penurunan, jumlah uang macet alias tunggakan petani justru meningkat.
Toh pemerintah tetep keukeuh untuk terus melaksanakan kredit untuk petani dengan alasan agar petani bisa meningkatkan hasil pertanian. Revolusi Hijau seperti membutakan mata pemerintah. Inilah yang membuat banyak pihak menduga bahwa pemerintah sebenarnya ada deal tertentu dengan perusahaan pertanian agar tetap melaksanakan program intensifikasi pertanian, kedok lain dari Revolusi Hijau.
Pada perjalanannya, Revolusi Hijau kemudian hanyalah jadi alat perusahaan pertanian untuk menjerat petani, termasuk di Indonesia. Ini terutama ketika perusahaan-perusahaan besar seperti Monsanto dan Syingenta juga masuk di Indonesia.
Parahnya ini didukung pula oleh akademisi. Pilot project padi di Karawang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Penyuluhan ke desa-desa dilakukan pula oleh mahasiswa dan dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.
Agen Ganda
Secara sederhana, pola penyebaran Revolusi Hijau di Indonesia itu dilakukan sebagai berikut. Pertama, lembaga riset membuat penelitian tentang apa saja teknologi yang bisa diterapkan untuk meningkatkan produksi pertanian. Riset ini didukung oleh akademisi sebagai peneliti dan perusahaan kimia serta lembaga donor sebagai penyokong dana.
Kedua, setelah riset dinyatakan berhasil, sponsor penelitian tersebut seperti CIBA dan Ford Foundation menyebarluaskannya ke negara-negara berkembang agar mengadopsi teknologi baru itu. Tentu saja dengan dukungan finansial juga. Dalam kasus di Indonesia, pemerintah kemudian membentuk tim pelaksana yang dilegitimasi oleh tentara.
Ketiga, untuk kepanjangan tangan dari pemerintah ke petani ada petugas penyuluh lapangan (PPL). Di lapangan, PPL ini juga bertugas ganda. Selaian sebagai penyuluh yang mewakili pemerintah, mereka juga mengenalkan produk-produk perusahaan pertanian mulai benih sampai pestisida. Namun dalam praktiknya, PPL ini justru identik sebagai agen perusahaan pertanian.
“Para PPL bertugas dengan target yang ditentukan oleh perusahaan pertanian,” kata Made Diarta, petani di Guwang. Bagi Revolusi Hijau lahan pertanian tak lagi menjadi tempat budi daya pertanian tapi pabrik penghasil uang bagi perusahaan pertanian.
Lalu di mana posisi petani? Mereka hanya dianggap sebagai ikan yang harus dijaring. Petani tidak perlu diajak untuk membicarakan apa yang mereka perlukan. Pokoknya berikan asupan kimia dan haruskan mereka untuk menggunakannya. Kalau tidak mereka harus berhadapan dengan tentara seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Atau setidaknya aparat desa akan mencabuti tanaman lain selain yang ditetapkan pemerintah. Tidak ada pilihan bagi petani.
Pola pemaksaan di Bali lain lagi. Kalau di Jawa melalui tentara, maka di Bali melalui lembaga seperti subak. Biasanya kelian subak setempat yang “dipelihara” oleh perusahaan pertanian. Ketika kelian sudah bisa dikendalikan, maka otomatis anggota subak yang lain akan menuruti kemauan kelian. Bila melawan, subak secara kelompok akan memberi sanksi misalnya dengan memutus aliran air ke sawah mereka.
Dengan asupan kimia dan teknologi baru, Revolusi Hijau memang terbukti meningkatkan produksi pertanian terutama padi. Salah satunya adalah ketika Indonesia tak lagi mengimpor beras karena sudah memenuhi swasembada beras pada 1984. Jika pada 1972 produksi padi sebesar 20 juta ton dengan produktivitas 3,21 ton per hektar, maka pada tahun 1984 jadi 38,14 juta ton dengan produktivitas 3,91 ton per hektar. Dari yang semula mengimpor beras sebanyak 2,5 juta ton per tahun, pada tahun 1984, Indonesia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri.
Peningkatan produksi padi itu terus terjadi hingga awal 1990. Setelah itu, produksi padi menurun terus. Menurut Badan Pusat Statistik pertambahan produksi padi nasional era 1974-1980 sebesar 4,8 persen per tahun sedangkan pada 1981-1990 sebesar 4,35 persen. Namun pada 1991-2000 turun jadi 1,32 persen. Pada 2005, produksi padi juga menurun 1,75 persen dari 54,06 ton pada tahun 2004 jadi 53,12 juta ton.
Petani pun mengakui adanya peningkatan produksi padi yang diakhir dengan penurunan ini. “Pada awalnya penggunaan bahan kimia memang membuat hasil panen memang naik. Tapi lama-lama makin turun,” ujar Dewa Putu Raka, petani di Desa Pejeng Kawan, Tampaksiring, Gianyar.
Seperti petani lain, Raka pun sadar bahwa dia memang menyebar racun dalam lahan-lahan sawah miliknya. “Kami memang menanam racun mulai dari pupuk sampai pestisida. Tapi memang itu yang disuruh oleh pemerintah,” ucapnya.
Inilah faktanya. Ketika intensifikasi pertanian terus digenjot, hasil yang dicapai ternyata malah berbanding terbalik. Produksi padi terus menurun.
Salah satu kambing hitam dari turunnya produksi adalah hilangnya kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang terlalu intensif. Penggunaan bibit baru justru melahirkan hama baru bagi padi. Menurut Raka, setelah petani menggunakan varietas baru, muncul pula hama-hama baru yang sebelumnya tidak ada. Ini pula yang dialami berbagai petani di Bali.
Nah, hama baru ini pun harus diberantas dengan pestisida baru yang dijual perusahaan obat-obat pertanian. Ini mirip satu paket masalah. Semuanya baru: benih, teknologi, hama, dan pestisida. Parahnya lagi lama-lama hama wereng yang diberantas jadi kebal terhadap pestisida yang dipakai oleh petani..
“Jadinya seperti candu, bikin ketagihan,”tambah Muliarta.
Dampak lain yang terasa selain rusaknya lingkungan adalah hilangnya budaya pertanian. Dari yang semula bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri, petani harus berorientasi pada jual beli. Dari yang semula menanam benih lokal, petani harus menanam benih produksi dari perusahaan pertanian. Petani yang semula menanam padi sebagai selingan dengan komoditas lain kini harus mengutamakan padi. Ini seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Terancam Keracunan
Di antara sekian dampak tersebut, kerusakan lingkungan memang yang paling terasa. Petani di banyak tempat mengaku kalau tanah mereka semakin keras, unsur haranya hilang, hewan kecil di sawah makin punah, produksi semakin turun dan seterusnya.
Tapi kerusakan tak hanya terjadi pada lingkungan. Intensifikasi pertanian juga ibarat menebar racun pada petani.
Dalam salah satu artikelnya, Staf Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Departemen Kesehatan Kusnindar menemukan bahwa keracunan pada petani di Indonesia terjadi setidaknya pada 14 juta orang. Kusnidar melakukan riset tersebut pada tahun 1989 atau 20 tahun lalu. Perkiraan itu berdasarkan pada banyaknya kasus keracunan yang pernah terjadi pada 1985-1986 seperti di di Brebes 85,7 persen, Klaten 54,8 persen, Karo Sumatera Utara 38 persen, dan termasuk Bali.
Dari rata-rata kasus di atas diperoleh angka 35 persen petani yang menyemprot pestisida akan keracunan. Menurut Kusnidar pula jumlah petani penyemprot sekitar 37 persen dari jumlah petani. Di sisi lain, per 2007 lalu, berdasarkan catatan Departemen Pertanian jumlah petani Indonesia sekitar 50 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 110 juta.
Dengan perkiraan jumlah petani penyemprot adalah 37,1 persen maka jumlah petani yang rentan terpapar pestisida sebanyak 40 juta orang. Jika 35 persen petani terpapar pestisida mengalami keracunan, maka jumlah petani yang mengalami keracunan kira-kira 14 juta orang.
Contoh lebih ekstrim terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Berdasarkan pemeriksaan darah pada 550 petani sayur di tujuh kecamatan, diperoleh fakta bahwa 99 persen petani sudah tercemar darahnya. Penyebabnya adalah penggunaan zat kimia pembasmi hama. Hasil ini diperoleh pada tahun 2006 lalu. Penelitian ini dilakukan setelah sebelumnya 10 petani di kabupaten yang sama meninggal akibat keracunan pestisida.
Astrid Widajati Sulistomo, doktor lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang meneliti petani bawang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah juga menemukan bahwa petani perempuan yang menggunakan pestisida lebih rentan mengalami keguguran. Penelitian pada tahun 2007 dengan responden 612 petani ini menemukan fakta bahwa petani perempuan pengguna pestisida berisiko mengalami keguguran sebesar 79 persen lebih tinggi dibanding perempuan yang bekerja di ladang pertanian lain.
Dikuasai Korporasi
Keracunan akibat pestisida sebenarnya hal yang pasti terjadi. Hal ini terjadi karena pemain-pemain besar di bidang Revolusi Hijau pada dasarnya memang perusahaan-perusahaan kimia. CIBA, yang mendukung masuknya Revolusi Hijau di Indonesia adalah anak perusahaan BASF, produsen bahan-bahan kimia.
Sampai sekarang pun situasinya tak jauh berbeda. Perusahaan benih yang paling besar di Indonesia adalah PT Benih Inti Subur Intani (BISI). Melalui PT Tanindo Subur Tani, PT BISI yang merupakan kepanjangan tangan dari Monsanto Corp, memproduksi benih padi, sayuran, dan jagung. Mereka juga memproduksi pestisida dan pupuk.
Sekadar mengingatkan. Monsanto, penguasa 88 persen benih di dunia, adalah perusahaan yang juga menjerat petani jagung di Nganjuk Jawa Timur pada tahun 2005 dengan tuduhan meniru teknologi pembenihan mereka. Perusahaan yang berpusat di Amerika ini pula yang memaksa petani di Bulukumba Sulawesi Selatan untuk menanam kapas jenis Bt yang terbukti merugikan petani pada 2001.
Di luar itu kejahatan paling parah dari Monsanto adalah karena dia juga memproduksi agent orange, senjata mematikan yang digunakan tentara Amerika Serikat ketika Perang Vietnam. Bersama lima perusahaan lain, Monsanto memproduksi senjata kimia yang mengakibatkan kanker dan cacat bawaan ini. Ribuan tentara yang pernah menyebarkan obat ini terkena kanker, tumor, dan seterusnya. Kini agent orange menyebabkan ratusan ribu bayi yang baru lahir sudah mengalami cacat bawaan seperti bisu dan tuli.
Bisa dibayangkan, ternyata pabrik pembuat racun bernama agent orange inilah pula yang memproduksi benih dan pestisida yang banyak digunakan petani di Indonesia.
Selain Monsanto, korporasi yang juga menguasai pertanian Indonesia adalah Syngenta dan Dupont.
PT Syngenta menguasai sekitar 15 persen pasar pestisida Indonesia dengan memproduksi 15 juta liter pestisida mereka per tahun. Produksi herbisida, fungisida, dan insektisida mereka terus naik 5 persen tiap tahun. Perusahaan milik Syngenta Corp ini adalah perusahaan pestisida terbesar kedua di Indonesia setelah PT Bayer Crop Science. Dengan jumlah petani yang mencapai sekitar 110 juta orang, maka Indonesia pun jadi pasar yang menggiurkan bagi korporasi-korporasi tersebut.
PT DuPont International, misalnya menjadikan Indonesia sebagai basis produksi pestisida untuk pasar Asia Tenggara. Berbagai pestisida pertanian ini akan diproduksi di dua pabrik DuPont di Sidoarjo dan Pasuruan Jatim. Alasannya, Indonesia memiliki potensi pasar besar dengan total lahan pertanian seluas 11 juta hektare.
Dengan semua produk kimia itulah, korporasi-korporasi tersebut menjerat petani Indonesia. Dari yang semula mandiri, mengandalkan asupan alam mereka kemudian tergantung pada produk-produk kimia yang dipasarkan korporasi. Setelah tergantung pada asupan kimia, para petani baru sadar bahwa mereka terjerat. Tapi mereka pun tak punya banyak pilihan. Negara dan korporasi yang mereka lawan terlalu kuat.. [b]
Prioritas Masalah Pertanian di Indonesia
penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertanian
memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. Sektor ini juga
perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi
pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian
Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting
dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan
pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan
memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula,
dan kacang kedelai. Akan tetapi, dengan adanya penurunan tajam dalam
hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah
mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas
pertanian kehilangan potensi untuk menciptakan tambahan lapangan
pekerjaan dan peningkatan penghasilan.
Walapun telah ada pergeseran menuju bentuk pertanian dengan nilai tambah
yang tinggi, pengaruh diversifikasi tetap terbatas hanya pada daerah dan
komoditas tertentu di dalam setiap sub-sektor. Pengalaman negara tetangga
menekankan pentingnya dukungan dalam proses pergeseran tersebut.
Sebagai contoh, di pertengahan tahun 1980-an sewaktu Indonesia mencapai
swasembada beras, 41% dari semua lahan pertanian ditanami padi, sementara
saat ini hanya 38%; suatu perubahan yang tidak terlalu besar dalam periode
15 tahun. Sebaliknya, penanaman padi dari total panen di Malaysia berkurang
setengahnya dari 25% di tahun 1972 menjadi 13% di 1998. Selain itu seperti
tercatat dalam hasil studi baru-baru ini, ranting pemilik usaha kecil/ pertanian
industrial, hortikultura, perikanan, dan peternakan, yang sekarang ini berkisar
54% dari semua hasil produksi pertanian, kemungkinan besar akan
berkembang menjadi 80% dari pertumbuhan hasil agraris di masa yang akan
datang. Panen beras tetap memegang peranan penting dengan nilai sekitar
29% dari nilai panen agraris. Tetapi meskipun disertai dengan tingkat
pertumbuhan hasil yang tinggi, panen beras tidak akan dapat mencapai lebih
dari 10% nilai peningkatan pertumbuhan hasil1.
Tantangan bagi pemerintahan yang baru adalah untuk menggalakan
peningkatan produktifitas diantara penghasil di daerah rural, dan
menyediakan fondasi jangka panjang dalam peningkatan produktifitas secara
terus menerus. Dalam menjawab tantangan tersebut, hal berikut ini menjadi
sangat penting:
1. Fokus dalam pendapatan para petani; titik berat di padi tidak lagi dapat
menjamin segi pendapatan petani maupun program keamanan pangan;
2. Peningkatan produktifitas adalah kunci dalam peningkatan pendapatan
petani, oleh karena itu pembangunan ulang riset dan sistem tambahan
menjadi sangat menentukan;
3. Dana diperlukan, dan dapat diperoleh dari usaha sementara untuk
memenuhi kebutuhan kredit para petani melalui skema kredit yang
dibiayai oleh APBN;
4. Pertanian yang telah memiliki sistem irigasi sangat penting, dan harus
dipandang sebagai aktifitas antar sektor. Pemerintah perlu memastikan
integritas infrastruktur dengan keterlibatan pengguna irigasi secara
lebih intensif, dan meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk
mencapai panen yang lebih optimal hingga setiap tetes air;
5. Fokus dari peran regulasi dari Departemen Pertanian perlu ditata ulang.
Kualitas input yang rendah mempengaruhi produktifitas petani;
karantina diperlukan untuk melindungi kepentingan petani dari
penyakit dari luar namun pada saat yang bersamaan juga tidak
membatasi masuknya bahan baku impor; dan standar produk secara
terus menerus ditingkatkan di dalam rantai pembelian oleh sektor
swasta, bukan oleh pemerintah.
Bidang- Bidang Penting yang perlu
diperhatikan
Peran utama Departemen Pertanian dalam membina hubungan
kerja sama dengan pemerintah daerah. Departemen Pertanian secara
jelas mempunyai peranan penting dalam usaha menjawab tantangan di atas.
Program-program dari Departemen Pertanian harus dilengkapi denganbermacam-macam inisiatif dari badan pemerintahan nasional lainnya,
pemerintahan lokal yang akan berada di garis depan dalam
pemgimplementasian program, organisasi produsen di pedesaan yang
bergerak di bidang agribisnis, dan para petani yang harus menjadi partner
penting demi mendukung proses perubahan ini. Cara ini memerlukan usaha
terpadu lebih besar dan kerjasama dari Departemen Pertanian dan
Departemen pemerintah lainnya yang menangani infrastruktur, pemasaran
pertanian, proses pertanian, fasilitas perdagangan. Dengan desentralisasi,
staf dinas di kabupaten telah dipindahkan ke tingkat pemeritahan lokal,
bersamaan dengan implementasi fungsi-fungsi pemerintahan, seperti
penyuluhan, regulasi (contoh: standar input, kualitas produk [pemeriksaan
mutu daging], karantina), dan pelaporan statistik. Departemen Pertanian
pusat sedang mengkaji ulang peranannya dalam menanggapi permasalahan,
dengan fokus yang lebih besar pada penyediaan fasilitas, rangka kerja
kebijakan dan penggunaan sumber daya. Departemen Pertanian mempunyai
peranan penting dalam menjamin bahwa sistem nasional tersebut dapat
dipertahankan dan dibentuk khusus untuk penyediaan barang-barang publik,
terutama dalam rangka penyuluhan, regulasi dan penelitian dalam bidang
pertanian. Setiap sistem ini berada di bawah tekanan yang berat.
Perlu meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi lebih
lanjut. Diperkirakan sekitar 24 juta hektar lahan kering memiliki potensi
yang belum dikembangkan. Rumah tangga miskin di daerah ini memiliki
tingkat ketergantungan lebih tinggi pada pertanian, karena sektor
perekonomian yang bukan berasal dari pertanian tidak dapat berkembang.
Diversifikasi di dalam hal ini menjadi penting, begitu pula berbagai kebijakan
yang merangsang tumbuhnya usaha peternakan, tumpang sari sayuran,
penanaman kembali hutan-hutan di daerah-daerah kecil dengan tumbuhan
berkayu dengan nilai tinggi, serta difersifikasi kacang mete atau buah-buahan.
Seluruh usaha tersebut dapat berperan serta untuk mencapai penghasilan
yang lebih stabil, dan mengurangi tingkat kemiskinan di daerah tersebut.
Terdapat bermacam-macam kesempatan untuk menunjang pertumbuhan di
daerah-daerah tersebut. Sebagai contoh, antara tahun 1996-2002, walaupun
terjadi krisis ekonomi, konsumsi makanan per kapita di Indonesia meningkat
sebanyak 8% secara riil. Peningkatan tersebut dialami oleh bahan makanan
dengan nilai tinggi seperti produk peternakan, buah-buahan, sayur-mayur,
ikan, lemak dan minyak, dan makanan siap saji. Di lain pihak, konsumsi per
kapita bahan makanan dengan nilai rendah malah menurun. Perubahan ini
telah mendorong perkembangan pesat supermarket, yang mana telah
mempengaruhi struktur produksi pertanian, penyiapan, penanganan dan
pemasaran. Hal yang serupa terjadi dalam ekspansi pesat hasil pertanian biji
coklat, kacang mete dan biji kopi, terlebih lagi setelah tahun 1997.
Perkembangan ini menunjukan adanya kebutuhan untuk membentuk
kerjasama dengan sektor swasta baik lokal maupun internasional yang
menciptakan kesempatan untuk mengurangi beban penyediaan pelayanan
dari badan pemerintah. Aspek penting bagi pertanian di daerah-daerah
tersebut adalah meningkatnya fokus pada usaha pertanian yang menghasilkan
uang dan akhirnya ketertarikan dari pihak swasta untuk membiayai
pengembangan ini. Hal ini memerlukan kualitas produksi yang lebih baik.
Hal ini tentunya memerlukan mekanisme regulasi pemerintah yang lebih
baik (dalam kerjasama dengan pihak swasta), dan juga akses lebih mudah
untuk mendapatkan pinjaman bank. Departemen Pertanian dapat
mendukung agribisnis dan sistim pemilikan pertanian skala kecil yang
kompetitif dan efisien melalui pengembangan rangka kerja efektif yang legal,
diatur oleh regulasi (misalnya untuk mengamankan hak properti, dan
pelaksanaan kontrak) dan institusional, untuk mempromosikan
komersialisasi dan integrasi vertikal.
Memperkuat kapasitas regulasi. Departemen Pertanian mengatur dan
mengawasi berbagai standar yang mempengaruhi produktifitas petani
(misalnya mencegah agar pupuk palsu, bibit bermutu rendah, dan pestisida
berbahaya tidak beredar di pasar; melaksanakan sistim karantina untuk
mencegah penularan penyakit binatang ternak dan tanaman dari luar) dan
melindungi konsumen produk pertanian (misalnya melalui inspeksi mutu
daging). Kerangka regulasi Indonesia untuk hal-hal tersebut telah cukup
berkembang, akan tetapi diperlukan perhatian untuk pembangunan
kapasitas, pemeliharaan integritas sistim nasional dengan desentralisasi, dan
fokus pada penyediaan bantuan bagi pemilik skala kecil untuk memenuhi
ketentuan spesifikasi perdagangan. Pasar swasta tergantung pada lingkungan
yang memiliki regulasi efektif dan efisien, termasuk didalamnya
pengelompokan kelas mutu dan standar, keamanan makanan, bio-safety,
dan regulasi lingkungan hidup, untuk mengurangi harga transaksi. Akan
tetapi, regulasi saja tidak mencukupi, harus juga disertai dengan kerjasama
bersama para pedagang, pengolah dan penghasil dalam suatu sistim regulasi
diri. Departemen Pertanian perlu mendukung adanya sistim regulasi produk
pertanian yang kompeten dan fungsional, yang mana juga penting tidak hanya
untuk perlindungan dan keamanan konsumer domestik, tetapi juga untuk
mendapatkan dan memelihara akses ke pasar internasional, terutama karena
negara pengimpor secara bertahap terus memperketat persyaratan kualitas/
keamanan produk makanan. Tanpa adanya perhatian yang khusus, fokus
peningkatan hasil produktivitas petani demi peningkatan kesejahteraan
petani akan gagal apabila ada pembatasan jalur ke pasar.
Meningkatkan pengeluaran untuk penelitian pertanian. Pertumbuhan
produktifitas di daerah pedesaan adalah dasar utama bagi pengentasan
kemiskinan di daerah tersebut. Hal ini membutuhkan sistim yang solid dalam
proses produksi, adaptasi dan pemerataan teknologi yang dibutuhkan oleh
produser berskala kecil. Penelitian pertanian yang kuat dan sistim penyuluhan
sangat penting untuk menggerakan produktivitas ke jalur pertumbuhan yang
lebih pesat. Sistim penelitian pertanian di Indonesia terdiri dari pusat
penelitian komoditas nasional dan institut adaptasi di tingkat wilayah. Akan
tetapi, pengeluaran utnuk penelitian pertanian di Indonesia turun secara
drastis sejak awal tahun 1990an dibandingkan dengan negara tetangga.
Pengeluaran riil untuk penelitian pertanian umum di 2001 tidak lebih besar
dari tahun 1995. Saat ini, kedudukan tingkat pengeluaran untuk penelitian
pertanian tersebut, dihitung dalam persentasi dari PDB dan total pengeluaran
negara untuk pertanian, termasuk paling rendah di antara negara asia lainnya.
Indonesia menyediakan sekitar 0,1% dari PDB sektor pertanian untuk
membiayai penelitian pertanian di dalam negeri (bahkan lebih rendah
dibandingkan dengan Bangladesh, dan jauh dibawah tingkat rekomendasi
1%); dan, jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang menyediakan
lebih dari 10% dari total pengeluaran negara untuk sektor pertanian untuk
mendukung penelitian pertanian, maka porsi di Indonesia kurang dari 4%.
Tantangan yang langsung dihadapi di dalam sistim penelitian pertanian adalah
untuk:
(i) menaikkan tingkat total pengeluaran umum untuk membiayai
penelitian berskala nasional walaupun saat ini terdapat berbagai proyek
penelitian yang dibatalkan;
(ii) menjelaskan tanggung jawab pembiayaan
publik untuk institusi adaptasi di tingkat wilayah;
(iii) melawan efek
desentralisasi atas kenaikan biaya operasional administrasi di tingkat lokal;
(iv) meremajakan proporsi besar peneliti senior yang akan segera pensiun;
(v) mengintegrasi kapasitas penelitian pertanian sektor swasta sebagai bagian
dari strategi nasional;
(vi) memperkuat strategi penelitian bioteknologi; dan
(vii) sementara menggalakan penggunaan dan penelitian pada berbagai jenis
beras, perlu pula menyeimbangkan pengembangan komoditas selain beras.
Mendukung cara-cara baru dalam penyuluhan pertanian. Seperti
halnya sistim penyuluhan di negara-negara lainnya, Indonesia menghadapi
tantangan besar dalam pengembangan mekanisme institusional yang efektif
dalam menyalurkan teknologi yang sesuai bagi produsen berskala kecil.
Walaupun pengalaman dalam pelayanan bantuan pertanian masih sangat
minim, bukti-bukti kuat yang mendukung manfaat desentralisasi penyuluhan
terus bertambah, termasuk yang melibatkan pihak swasta maupun masyarakat
umum. Serangkaian debat dan ekperimen pengelolaan yang positif telah
diadakan. Termasuk didalamnya pergeseran ke metode partisipasi,
penyaluran input dan teknologi sampai dengan pembagian pasar dan awal
informasi serta teknologi. Terlihat pula adanya perluasan pelayanan yang
dikelola secara terpusat sampai pelayanan yang didesentralisasi, serta
pergeseran ke arah privatisasi penyuluhan. Privatisasi pelayanan penyuluhan
akan memainkan peranan lebih penting di sub-sektor lahan kering penghasil
pertanian yang mendatangkan uang di daerah timur Indonesia, serta produksi
komoditas ekspor yang lebih didukung oleh sektor swasta. Staf penyuluhan
umum saat ini bertanggung jawab kepada pemerintahan propinsi yang
sekarang bekerja berdasarkan 2 model: (1) servis penyuluhan umum dibawah
suatu organisasi perwakilan, dan (2) kapasitas penyuluhan yang dipilah-pilah
ke beberapa badan yang berorientasi ke produk dan independent. Model
yang pertama didukung oleh Proyek Desentralisasi Penyuluhan Pertanian
dan Kehutanan (DAFEP) dengan dana dari Bank Dunia, akan tetapi kurang
dari sepertiga pemerintahan propinsi yang memilih model tersebut sampai
saat ini. Tingkat kualifikasi pendidikan untuk penyuluh-penyuluh publik
sedang ditingkatkan, tetapi tampaknya kompensasi jauh menurun sejak
adanya desentralisasi, dengan turunnya jumlah personel berkualifikasi yang
mencari lapangan pekerjaan di tempat lain. Iklim politik dewasa ini di Indonesia
juga berperan serta dalam penyediaan lingkungan yang kondusif bagi
serangkaian organisasi produsen pedesaan (RPOs) dibandingkan dengan
keadaan sebelumnya. Pemerintah, khususnya pemerintah setempat, terus
mencari jalan untuk menjalin kerja sama dengan organisasi-organisasi
tersebut, tetapi juga menghadapi kesulitan, karena cepatnya perubahan yang
terjadi di dalam organisasi berorientasi keanggotaan tersebut. Untuk semua
inisiatif diperlukan cara-cara untuk menentukan hubungan mana yang lebih
baik antara penelitian pertanian dan penyuluhan; pemisahan fungsi di dalam
organisasi di Departemen Pertanian (antara IAARD dan AAHRD) telah
menghambat usaha dalam memusatkan perhatian atas berbagai masalah yang
diahadapi petani dan juga menentukan agenda penelitian, serta penyebaran
hasil penelitian yang efektif. Proposal Pengerjaan Petani melalui proyek
Teknologi dan Informasi Pertanian (FEATI), yang dikembangkan oleh
Departemen Pertanian dan didukung oleh Bank, menjawab serangkaian
masalah-masalah di atas, dan akan bertujuan untuk menggiatkan penelitian
pertanian dan penyuluhan, dan dengan demikian, memperkokoh hubungan
antara agribisnis dan komunitas pertanian.
Mendukung pertumbuhan ICT. Inisiatif untuk mengembangkan teknologi
informasi dan komunikasi (ICT) di daerah rural membuka kesempatan bagi
penyaluran informasi ke komunitas pedesaan, memperbaiki hubungan antar
penelitian dan penyuluhan, serta mendukung pengembangan daerah
pedesaan. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman-pengalaman
di negara lain. Contohnya, India telah melalui proses pengembangan inisiatif
informasi dan komunikasi di daerah pedesaan beberapa tahun terakhir.
Berbagai macam model, didukung baik oleh sektor umum maupun swasta,
telah diuji-coba dengan sukses. Misalnya adalah satu model dari ITC,
perusahaan swasta besar, yaitu e-choupal initiative, adalah intervensi
informasi teknologi terbesar yang dimiliki suatu perusahaan di daerah
pedesaan India. Dengan menyampaikan informasi secara langsung dan
pengetahuan yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk meningkatkan
kemampuan petani dalam membuat keputusan, e-choupal membantu
menyelaraskan antara hasil pertanian dan kebutuhan pasar, serta menuju
tercapainya perbaikan kualitas, produktifitas, dan meningkatkan
pendeteksian harga. Dimulai tahun 2000, e-choupal sekarang ini telah
mencakup 6 negara bagian, 25.000 desa, dan melibatkan 2,5 juta petani. Di
dalam 10 tahun kedepan, ITC memperkirakan akan dapat mencapai 15 negara
bagian dengan lebih dari 100.000 desa (1/6 dari total desa-desa di India)
dan membantu 10 juta petani. Tantangan yang dihadapi dalam
mengembangan ICT di India sama dengan di Indonesia - jaringan yang buruk,
infrastruktur rural yang lemah dan kapasitas sumber daya manusia yang
rendah. Akan tetapi, inisiatif ICT di daerah pedesaan telah melambung di
India dalam kurun waktu 5-8 tahun terakhir ini. Kios di daerah pedesaan
berfungsi sebagai pusat komunikasi, pusat pelatihan virtual, pusat bantuan
untuk pengusaha di daerah pedesaan, tempat perdagangan, pusat layanan
finansial dan asuransi, dan lain-lain. Proyek-proyek ini memberikan pengaruh
penting untuk kawula muda, wanita dan anak-anak secara tidak langsung.
Dengan adanya desentralisasi dan lingkungan politik serta institutional yang
baru di Indonesia, kemungkinan pengembangan ICT di Indonesia untuk
mendukung pembangunan daerah pedesaan sangatlah besar.
Usaha Departemen Pertanian untuk menyediakan bantuan dana yang sesuai
melalui dana APBN yang didekonsentrasikan adalah langkah menuju arah
yang tepat; selain itu juga harus mengembangkan alat DAK untuk bekerja
sama dan membantu pemerintah daerah. Departemen Pertanian telah
menggunakan asas desentralisasi, tetapi pengembangan alat-alat bantu baru
saja dimulai, seperti insentif fiskal yang memudahkan kerja kolaborasi
dengan pemerintah sub-nasional untuk mendukung program pertanian.
Walau begitu, cara pendekatan ini tidak digunakan secara proaktif dalam
memantau reformasi. Yang digunakan adalah dana terdekonsentrasi yang
diserahkan ke distrik-distrik dengan beberapa syarat. Jenis kerjasama dana
bantuan yang disesuaikan dengan kebutuhan ini adalah pendekatan praktis
yang dapat digunakan untuk melakukan eksperimen. Sementara itu,
Departemen Pertanian harus melaksanakan manajemen yang kuat dan tetap
mengacu kepada cara pendekatan tersebut. (misalnya pondasi strategi yang
matang, tujuan hasil yang jelas, pengawasan dan pertanggungan-jawaban).
Disamping itu, inisiatif Departement Pertanian baru-baru ini yaitu
mengembangkan DAK untuk memenuhi kebutuhan pertanian harus
didukung secara penuh, dengan tujuan untuk menetapkan standar nasional
dalam memperbaiki mutu pelayanan.
Sumber daya Departemen Pertanian dialokasi ulang agar pemutaran dana
bagi grup petani dapat lebih efektif digunakan jika diarahkan melalui
penyaluran dana yang sesuai ataupun mekanisme DAK. Unit Departemen
Pertanian pusat secara agresif juga telah menggunakan transfer langsung
dana APBN ke rekening bank milik grup petani untuk membiayai kegiatan produksi yang dibantu oleh unit teknis. Diperkirakan sekitar 40% dari APBN
Departemen Pertanian 2002 menggunakan mekanisme transfer tersebut.
Dukungan untuk penyaluran dana ini berasal dari para reformis di dalam
Departemen Pertanian itu sendiri, serta dari DPR, yang memandang cara ini
sebagai satu jalan untuk menyalurkan dana tersebut langsung kepada yang
berhak dan secara bersamaan menghindari penyalahgunaan dan kebocoran
dana yang selalu terjadi di dalam usaha publik memperoleh penyaluran
proyek tersebut. Sumber-sumber ini umumnya disediakan dalam bentuk
dana bantuan sebagai mekanisme pemutaran kredit di tingkat grup petani.
Akan tetapi, sumber-sumber dana tersebut di alokasikan ke hasil produksi
tertentu saja, tanpa adanya perhatian yang cukup untuk mencapai finansial
mikro yang stabil. Hal ini berdampak pada pembayaran kredit yang buruk,
dan penurunan mutu dana bantuan yang diputarkan. Kepentingan nasional
akan terpenuhi dengan cara terbaik jika program transfer langsung dikurangi
dan sumber-sumber Departemen Pertanian pusat disalurkan langsung untuk
memfasilitasi sistim nasional yang kuat dalam penyediaan kepentingan umum
(penelitian, regulasi, dan penyuluhan) berbentuk suatu kerjasama dengan
provinsi, dengan menggunakan dana bantuan sesuai sebagai insentif atau
mekanisme DAK.
Menjamin berlangsungnya manajemen irigasi. Departemen Pertanian
berperanan penting dalam kerjasama dengan institusi terkait lainnya dalam
menghadapi masalah utama ini yaitu bertambah langkanya sumber air yang
mengakibatkan lambatnya pertumbuhan hasil pertanian yang teririgasi.
Tantangan dalam menghadapi langkanya sumber air diperbesar dengan terus
bertambahnya biaya dalam penyediaan sumber air yang baru, pencemaran
tanah di daerah irigasi, penipisan persediaan air tanah, polusi air dan
penurunan mutu ekosistem yang berhubungan dengan air, serta pemborosan
penggunaan air di tempat suplai air yang telah selesai dibangun. Kelalaian
pemeliharaan melalui pembiayaan O&M secara sistematik telah
mengakibatkan sedikitnya sepertiga dari 3 juta hektar skema irigasi hasil
rancangan pemerintah, telah direhabilitasi sebanyak 2 kali selama 25 tahun
teakhir ini, serta penggunaan sumber air yang tidak memperhatikan prinsip
keberlanjutan. Batas air bagian atas di Indonesia juga mengalami penurunan
mutu sebagai akibat hilangnya lapisan tumbuhan pelindung karena
penggundulan hutan dan praktek pengelolaan tanah yang buruk. Erosi
bagian atas lereng yang curam, terutama di Jawa di asosiasikan dengan
hilangnya lapisan tumbuhan pelindung dan menyebabkan pendangkalan
sungai-sungai, waduk dan kanal irigasi, yang pada akhirnya menimbulkan
bencana banjir. Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Indonesia telah
mengembangkan model pengelolaan air lokal yang menempatkan
perkumpulan pengguna sumber air sebagai pusat pengambilan keputusan,
di dalam suatu kerjasama yang erat dengan pemerintah setempat.
Pengalaman menunjukan bahwa jenis asosiasi tersebut efektif dalam
meningkatkan efektifitas penggunaan air, yang mengakibatkan produktivitas
lebih tinggi, penggunaan air yang inovatif (diversifikasi pertanian,
pengembangan perikanan, dan lain-lain); kesempatan lebih baik untuk
menciptakan penghasilan; mempertahankan usaha pencegahan; dan
kerjasama yang lebih positif antara pemerintah setempat, komunitas petani
dan perwakilan di tingkat nasional. Model ini telah diuji-coba dan disebarkan
secara bertahap ke banyak propinsi di Indonesia. Walau begitu, karena
aktivitas ini mempunyai karakter antar-sektor, Departemen Pertanian
didorong untuk mengembangkan lebih jauh keberhasilan tersebut, serta
memperluas kerjasama dan koordinasi dengan perwakilan lainnya yang
memiliki otoritas per sektor dalam pertanian irigasi dan dukungan terhadap
pemerintah setempat, khususnya dengan Departemen Pekerjaan Umum, serta
Departemen Dalam Negeri. Selain itu, jaminan keamanan dan hukum untuk
melindungi hak kebiasaan informal setempat atas sumber air akan menjadi
syarat demi terciptanya proses yang teratur, adil dan transparan dalam
mengalokasi ulang sumber air, agar dapat secara terus menerus memenuhi
kebutuhan masyarakat yang berubah-rubah. Hal ini akan memerlukan
pemantapan manajemen sumber air melalui organisasi yang sedang
berkembang (Balai PSDAs) agar dapat mengelola sumber air yang langka
dan mengalokasikannya secara optimal.
Memperbaiki infrastruktur rural. Sementara tanggung jawab untuk
penyediaan infrastruktur pedesaan, khususnya jalan raya di daeral rural,
bukanlah tanggung jawab Departemen Pertanian, jelas terlihat bahwa investasi
infrastruktur daerah setempat yang menjadi penghubung penting antara pasar
dan pusat pelayanan, telah melambat secara tajam, mengakibatkan deteriosasi
fasilitas yang telah dibangun. Walaupun titik berat pembangunan telah
ditempatkan pada pembangunan jalan penghubung penting, pengembangan
dan perbaikan jaringan jalan di daerah pedesaan dibutuhkan dengan segera.
Jalan penghubung antara desa dan pasar sangat dibutuhkan di daerah
pedesaan untuk mendukung intensifikasi pertanian. Jalan-jalan di kabupaten
berjumlah sekitar 72% dari jaringan jalan terdaftar; hampir separuhnya berada
di kondisi buruk atau ditelantarkan, dan hanya sekitar 19% berada dalam
kondisi bagus. Bukti dari Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya
menunjukan bahwa di daerah rural, pendapatan lebih tinggi dari hasil nonagraris
terjadi di daerah-daerah yang memiliki infrastruktur pedesaan yang
baik yang disebabkan oleh hubungan kuat antara pertanian-bukan pertanian,
rural-urban, dan pengembangan usaha kecil menengah.2 Terlebih lagi, hasil
studi mengindikasikan bahwa tingginya biaya transaksi di Indonesia, yang
disebabkan oleh berbagai faktor termasuk infrastruktur rural yang buruk,
mengakibatkan rendahnya bagian petani. Hanya sebesar 25%-30% dari nilai
kotor untuk hasil produk yang memiliki nilai tinggi.